INDONESIA, Bermula dari Ranah Minang
Mulai dikenal di Timur Tengah, tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah
kemudian menyebar di kalangan jamaah haji di Makkah, termasuk jamaah
haji dari nusantara. Dari situ, tersebarlah tarekat tersebut ke Tanah
Melayu, termasuk Indonesia.
Pengajaran dan pendalaman tarekat tersebut
berkembang melalui keguruan.
BJ O Schrieke dan Martin Van Bruinessen
menyebutkan, Naqsyabandiyah masuk ke nusantara dan Minangkabau pada
1850. Sementara Christine Dobbin (2008) menyebutkan, tarekat
Naqsyabandiyah sudah masuk ke Minangkabau sejak abad ke-17. Tarekat itu
masuk melalui daerah pesisir Pariaman, kemudian masuk ke Agam hingga
wilayah Lima Puluh Kota.
Sedangkan Azyumardi Azra pernah menuliskan tarekat Naqsyabandiyah
diperkenalkan ke wilayah ini pada paruh pertama abad ke-17 oleh Jamal
al-Din, seorang Minangkabau yang mula-mula belajar di Pasai sebelum
melanjutkan ke Bayt al-Faqih, Aden, Haramain, Mesir, dan India.
Dalam hal keguruan tarekat, Syekh Sulaiman Zuhdi (silsilah tarekat
ke-32) yang berkedudukan di Jabal Quraisy menjadi guru bagi sejumlah
syekh yang kemudian menjadi penerusnya, seperti Syekh Usman Fauzi
(Jabal Quraisy). Tercatat pula beberapa ulama dari nusantara yang
berguru pada Syekh Sulaiman Zuhdi, yakni Syekh M Hadi (Girikusumo, Jawa
Tengah) dan putra beliau, Syekh Ali Ridho (yang kemudian menjadi
penerus silsilah keguruan), Syekh Sulaiman (Huta Pungkut - Sumatra
Barat), dan Syekh Abdul Wahab Rokan (Babussalam, Aceh).
Sekembali dari Jabal Qubaisy, berpusat di Huta Pungkut, Sumatra
Barat, Syekh Sulaiman mengembangkan tarekat ini. Ia memiliki murid yang
sangat cemerlang, yakni Syekh Muhammad Hasyim al-Khalidi (Buayan,
Sumatra Barat). Syekh Hasyim al-Khalidi kemudian melawat ke Jabal
Qubaisy dan memperoleh ijazah keguruan pada silsilah ke-34.
Syekh Hasyim al-Khalidi inilah, seperti dilansir www.baitulamin.org,
yang kemudian menjadi guru Syekh Prof Dr Kadirun Yahya. Syekh Kadirun
Yahya kemudian memperoleh ijazah keguruan tarekat Naqsyabandiyah
al-Khalidiyah dan menjadi pemegang silsilah ke-35. Ijazah keguruan juga
ia peroleh dari Syekh Abdul Majid (Batusangkar) dan Syekh Syahbuddin
(Sayurmatinggi), pemegang silsilah keguruan dari alur yang berbeda
dengan Syekh Hasyim al-Khalidi.
Menjangkau Amerika
Tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah yang diwarisi Syekh Kadirun Yahya
diteruskannya hingga berkembang pesat di Indonesia, Malaysia bahkan
juga di Amerika Serikat. Di Tanah Hindi, tarekat ini terkadang masih
dikenali sebagai tarekat Naqsyabandiyah Mujaddidiyah. Pada 2008,
rumah-rumah wirid tarekat ini telah tumbuh dan berkembang hampir di 700
tempat.
Untuk mengelola tempat-tempat wirid yang tersebar luas itu,
sekaligus untuk mewadahi aktivitas sosial kemasyarakatannya, ia
mendirikan Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya yang berpusat di Medan.
Yayasan tersebut menaungi bidang ketarekatan dan lembaga pendidikan,
mulai TK hingga perguruan tinggi.
Tokoh Naqsyabandiyah Khalidiyah Indonesia lainnya adalah seorang
sufi asal Minangkabau, yakni Ismail Minangkabawi yang merupakan murid
dari Abdullah Makki. Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi
menetap di pulau Penyengat di wilayah kepulauan Riau.
Di sana, ia
memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan yang telah mengenal
Naqsyabandiyah melalui duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah
oleh Muhammad Mazhhar.
Minangkabawi juga pergi ke Melayu hingga Kedah (negeri-negeri yang
membentuk Persekutuan Tanah Melayu; sekarang Malaysia), dan
mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi. Namun, usahanya
merupakan rintisan, yang kemudian digantikan oleh dua orang Khalidiyah
yang tinggal di Makkah, yakni Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman
Zuhdi.
Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil daripada Khalil
Hamdi Pasya. Bahkan, Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat ia tinggal,
dipandang sebagai sumber seluruh tarekat Naqsyabandiyah di Asia
Tenggara. Di antara murid-muridnya kemudian banyak yang mendirikan
pusat penyebaran Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatra, Jawa, dan
Sulawesi.
Kemudian, Abdil Wahab Rokan dikirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan
misi menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatra, dari Aceh sampai
Palembang. Misi yang sukses dilakukannya adalah mendirikan pusat
penyebaran Khalidiyah di Babussalam, Langkat.
Babussalam, yang dikenal juga dengan Besilam, disebut-sebut sebagai
pusat penyebaran tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah terbesar di
Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Wikipedia menyebutkan, Babussalam
dibangun pada 12 Syawal 1300 H (1883 M) di atas tanah wakaf raja
Langkat pada masa itu, Sultan Musa al-Muazzamsyah.
Besilam atau Babussalam, yang berarti “pintu kesejahteraan,”
merupakan sebuah perkampungan terpencil dan terisolasi di tengah hutan
sekunder di ujung Tanjung Pura, Padang Tualang, Langkat, Sumatra Utara.
Daerah itu dihuni para sufi yang mengamalkan ketaatan pada pengasingan
dari kehidupan duniawi dan mencari jalan menuju Sang Khalik. Bahkan,
Sultan Musa al-Muazzamsyah diceritakan ikut menetap di sana dan
mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah sampai akhir hayatnya.
sumber : c15 ed: wachidah handasah/republika
Komentar