Akar Terorisme ialah Ideologi Kebencian



Oleh : Juswan Setyawan

14-Aug-2009, 13:54:52 WIB - [www.kabarindonesia.com]
KabarIndonesia - Banyak orang mengira bahwa akar terorisme ialah ideologi kekerasan. Tampaknya pandangan ini semakin jauh dari kebenaran.

Mengapa? Kekerasan hanyalah alat dan sarana praksis. Sama sekali bukan penyebab atau alasan kausatif. Anak kecil memukul temannya. Ini bukan sebab melainkan ekspresi. Lalu apa sebabnya? Karena ia “menjadi” benci terhadap temannya yang telah merebut mainannya, mengambil makanannya, atau yang telah “mencuri” perhatian ibu guru terhadapnya.

Kita kenal istilah “sibling rivalry” atau persaingan sekandung. Si kakak mencubit adiknya yang masih orok. Apakah di sini lalu dasarnya ideologi kekerasan? Sama sekali tidak! Cubitannya itu hanyalah media ekspressifnya. Ia merasa terganggu dan benci kepada adik kecilnya yang – walaupun tampak tak berdosa dan tak berdaya – namun telah “merampas” seluruh perhatian dan kasih ibu kepada dirinya. Dulu ia mendapatkan seluruh perhatian dan kasih ibu. Tetapi kini ia harus berbagi dengan si makhluk jelek yang hanya bisa mewek itu. Sungguh menyebalkan! “Indonesia ini negara yang sangat kaya raya. Sumber daya alamnya luar biasa. Namun setelah enam setengah dekade merdeka rakyat kita, kaum kita, umat kita masih tetap saja terus menderita tidak berkesudahan dan hidup di bawah garis kemiskinan. Ke mana semua kekayaan SDA negeri kita?

Ternyata habis dikuras oleh perusahaan-perusahaan milik negara kapitalis besar. Untuk apa keuntungan besar yang mereka peroleh dari hasil memeras “santan dari parutan” hasil alam kita? Semuanya dipakai untuk mengobarkan dan membiayai perang di mana-mana yang menyebabkan rakyat kecil, umat kita juga, menderita setengah mati di mana-mana.” “Maka negara-negara parasit itu harus diperangi dan dihancurkan. Minimal oktopus perusahaan-perusahaan raksasa itu dikebiri usahanya di bumi nusantara ini. Inilah jalan perang yang harus kita lakukan. Yaitu perang ekonomi semesta melawan kapitalisme yang menghisap darah bangsa kita.”

Semua uraian di atas BUKAN pandangan pribadi penulis. Itu adalah penggambaran dari pada “ideologi kebencian” yang terus menerus disuntikkan ke otak para generasi muda kita yang masih lugu, lurus, dan sederhana dalam cara maupun wawasan berpikirnya. Sewaktu seorang karyawan bersama temannya mencari pondokan di suatu kawasan di hinterland jalan protokol di Ibu kota ini mereka lalu masuk ke suatu wilayah. Mereka bertanya kepada dua anak kecil seumuran anak kelas satu sekolah dasar, “Dik, apakah ada kost di sekitar sini?”

Anak-anak itu tidak menjawab ada, atau tidak ada. Anak-anak itu malah balas bertanya, “apa agamanya dulu?". Berkali-kali ditanya dengan cara berbeda, jawabannya kekeh berupa pertanyaan balik, “apa agamanya?”

Begitu mendengar jawaban yang tidak sesuai dengan harapannya, mereka langsung berkata ketus: “Tidak ada!” “Masa sih tidak ada dik? Di sekitar sini bukankah banyak tempat kost?”. Anak-anak itu menjawab dengan muka disetel kenceng: “Tauk! Pokoknya tidak ada!” Dapatkah anda bayangkan bagaimana anak-anak sekecil ini sudah tercuci otaknya untuk membenci kaum liyan? Menabukan liyan untuk bermukim di kawasannya. Menjadikannya wilayah kauman yang eksklusif.

Dapatkah dibayangkan “di mana” dan “dari mana” mereka telah mendapat suntikan “ideologi kebencian dan ketertutupan” mereka terhadap liyan? Apakah di rumahnya? Di sekolahnya? Di komunitas dan lingkungannya? Sumbernya sama sekali belum jelas, namun outputnya teramat jelas: eksklusifisme, dan kebencian. Bo’im atau Ibrohim baru berusia 37 tahun. Ia tampak sebagai pemuda yang santun, supel alias gaul, seniman bunga yang tekun dalam profesi tunggalnya selama 15 tahun dan juga taat beribadat. Sama sekali tidak tampak gejala yang menyiratkan “ideologi kekerasan” ada di dalam dirinya. Ia tidak pernah latihan perang di medan Afganistan atau Poso. [Ia bahkan mungkin tidak becus memegang senjata berlaras panjang, pendek, lontar, boro-boro lagi bom.

Kasihan juga ia telah dibombardir selama 17 jam. Mugkin ia malah sudah mati karena ketakutan itu sendiri.] Dani Dwi Permana baru berusia 18 tahun. Ia alumnus SMA Yadika 7 Bogor. Anaknya cerdas, pendiam, sangat baik hati, sosial, serta rajin beribadah. Hanya sebelum tamat pernah berkata kepada sahabatnya Yulianto, bahwa “kalau tamat SMA ia mau berjihad”.

Namun ucapan itu hanya dianggap kelakar saja di kalangan teman-teman sekolahnya [Sumber: http://www.hariansumutpos.com/2009/08/”pengantin-bom”-dimanjakan-dekati-anak-9-tahun.html] Ideologi kebencian yang dianutnya diindoktrinasikan oleh pak Usztad Saefudin yang dalam ceramah dan khotbahnya kerap mengucapkan kalimat seperti “… saat ini kita sedang dikepung kafir… jadi kita harus berjuang memerangi kafir…” [harian sumut pos, ibid.].

Berdasarkan analisis ini maka tampaknya masyarakat terutama elit negeri kita harus melakukan rencana proaktif yang benar-benar ekstensif untuk mengkonter indoktrinasi “ideologi kebencian” seperti tersebut di atas. Indoktrinasi “negeri kita di kepung kafir” mengandung injeksi dan konotasi bahwa “negara dalam keadaan darurat perang” dan dengan prakondisi seperti ini maka syarat-syarat jihad kemudian otomatis dapat dibenarkan.

Di negeri ini dengan pemuka agama yang demikian banyak bagaimana mungkin mengontrol seluruh isi pembicaraan dan ceramah orang?. Maka dari itu negeri ini tetap berpotensi tinggi untuk menjadi lahan yang subur bagi terorisme di masa-masa yang akan datang.

Para actor intelectualis juga semakin canggih dengan mendekati para remaja yang masih labil dalam karakternya. Manusia belia dalam masa pancaroba “sturm und drang” [istilah filsuf Johan Georg Hamann (1730-1788)] yang ibaratnya tanah liat yang masih mudah untuk dibentuk. Sekalipun Noordin M. Top tertangkap ternyata masih banyak kader-kadernya yang sudah jadi [ready for use] dan banyak pengantin-bom yang sudah direkrut oleh para agennya.

Maka sejarah terorisme di negeri ini – dengan tetap berusaha memelihara semangat optimisme - kiranya masih akan sangat dan teramat panjang. Seperti ucapan klasik [bukan klise] dari Bung Napi maka masyarakat haruslah selalu bersikap: “Waspadalah! Waspadalah! … selama ideologi ketertutupan dan kebencian masih terus disemai deras di negeri ini maka panen terorisme hanya menunggu masanya saja… yang entah kapan saat meledaknya. Dan ini sesuai sekali dengan tujuan utama terorisme yaitu menimbulkan kepanikan, kegelisahan dan terror… [*]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cikunggunya menyerang warga natuna

Turis Kunjungi Sejumlah Wisata Anambas

Avatar yg dapat menguasai ke-4 elemen & membawa 'keseimbangan' dunia