DBH Migas Dinilai Belum Sejahterakan Masyarakat

NATUNA – Dana Bagi Hasil dari sector Minyak Bumi dan Gas dinilai Ketua DPRD Natuna, Hadi Chandra, S.Sos, belum menyentuh masyarakat. Dana tersebut dianggap belum maksimal untuk pembangunan daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.



“DBH Migas belum menyentuh langsung masyarakat sekitar sebagai daerah penghasil,” kata Hadi Chandra, kepada wartawan, Jumat (29/4).



Menurutnya, ada rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat daerah penghasil, terkait dengan alokasi dana DBH yang disalurkan. Dana yang mencapai ratusan miliaran tersebut seolah hanya menjadi hitungan diatas kertas kosong terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar penghasil Migas.



Lanjutnya, kebutuhan masyarakat tidak sekadar dalam bentuk diwujudkannya pengucuran dana tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR) oleh perusahaan. Yang lebih penting, bagaimana perusahaan mampu meningkatkan kesejahteraan dengan kontribusi terhadap peningkatan tingkat pendidikan dan membantu menyediakan kebutuhan akan lapangan pekerjaan.



Disampaikan juga bahwa keterlambatan pengucuran dana DBH juga membuat pembangunan di daerah tidak berjalan lancer. Itu akibat dana yang seharusnya bisa dialokasikan untuk triwulan I, misalnya, baru dibayarkan pada triwulan II. Begitu juga bila dana itu digunakan untuk triwulan II, baru diberikan di triwulan III.



“Keterlambatan DBH juga diklaim mengganggu APBD,” pungkasnya mengakhiri.



Sebelumnya, dalam satu kesempatan saat menjadi pembicara dalam Seminar Perminyakan yang diselenggarakan BP.Migas wilayah Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) di Nirwana Garden, Kawasan Wisata Lagoi, DosenTeknik Perminyakan ITB yang juga anggota Dewan Kehormatan Forum Komunikasi Migas Nasional, Rudi Rubiandini, menjelaskan perlunya pemerataan pembangunan dengan menggunakan DBH Migas hingga ke tinggkat desa daerah penghasil. Hal ini perlu dilakukan demi mengurangi kemiskinan yang terjadi di tingkat desa.



Kata Rudi, selama ini, di beberapa daerah Kabupaten/Kota, penyaluran DBH Migas hanya terhenti di tingkat Kabupaten/Kota. Karena itu, sejumlah daerah penghasil Migas perlu meniru penerapan DBH Migas Kabupaten Majalengka dan Kota Bojonegoro yang merata hingga ke level desa.



Di Bojonegoro dan Majelengka, ujarnya, pemerataan DBH Migas sudah dilakukan hingga ke level desa, sebagai daerah penghasil. Inilah yang membuat semua daerah merasakan kesejahteraan. Apalagi, penerapan itu sudah diatur dalam Peraturan Daerah, sehingga pembangunan yang didanai DBH Migas, diharuskan hingga level bawah masyarakat pedesaaan.



Dijelaskan, dengan penerapan Perda yang mengatur DBH Migas itu, ternyata hasilnya cukup efektif untuk pemerataan pembangunan. Selain itu, resapan DBH Migas benar-benar dirasakan warga masyarakat secara menyeluruh.



Ia menilai, jika penyaluran DBH dilakukan hingga ke tingkat paling bawah yakni di level Kelurahan/Desa dan tepat penyalurannya maka penggunaan DBH Migas akan terserap secara maksimal sehingga mampu menekan angka kemiskinan di level paling bawah tersebut.



Saat ini, dalam hal penyaluran DBH Migas, Kabupaten Majalengka dan Kota Bojonegoro, memang telah selangkah lebih maju disbanding daerah penghasil Migas lainnya di Indonesia. Jika sebelumnya daerah tersebut termasuk daerah yang miskin, berkat adanya Perda yang mengharuskan penyaluran DBH hingga ke level tinggkat Kelurahan/Desa, kini tumbuh dan berkembang secara merata dengan daerah-daerah lainnya.



“Jika daerah penghasil Migas lainnya juga menerapkan hal yang sama, maka taraf ekonomi masyarakat desa daerah penghasil Migas lainnya juga dapat meningkat,” ujar Rudi yang juga Dewan Pakar Ikatan Ahli perminyakan Indonesia (IATMI) ini.



Menurutnya, dari pengamantannya, hingga kini, banyak daerah yang menyalurkan DBH hanya pada tingkatan Kabupaten semata dan tidak sampai tersalur ke Kelurahan/Desa. Itupun dana yang bersumber pada DBH Miga tidak diarahkan untuk pembangunan melainkan diposting dalam anggaran belanja pegawai.



Sedangkan Kepala Operasi BP.Migas Wilayah Sumbagut, Hanif Rusjdi, mengungkapkan bahwa berdasarkan data BP.Migas, cadangan Gas Bumi di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, mencapai 52.38 Gas Reserves TCF.



Hanif yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu, memaparkan bahwa regulasi pengelolaan Migas di Indonesia telah berubah. Jika sebelumnya regulasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina dan Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan Migas, maka kini diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001. Aturan ini juga memaksa Pertamina untuk berubah menjadi Perusahaan Perseroan.



“Perubahan ini diwujudkan pada 17 September 2003 dengan menyesuaikan aturan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003,” jelasnya.



Terkait Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah, jelasnya, dialokasikan dana bagi hasil dari sumber daya alam sector Minyak Bumi. Besarnya dana perimbangan yang dialokasikan mencapai 84,5 persen untuk Pemerintahan Pusat dan 15,5 persen untuk Pemerintahan Daerah. Sedangkan untuk dana perimbangan sektor Gas Bumi, 69,5 persen untuk Pemerintahan Pusat dan 30,5 persen untuk Pemerintahan Daerah Riky R sumber www.detikriau.net

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cikunggunya menyerang warga natuna

Turis Kunjungi Sejumlah Wisata Anambas

Avatar yg dapat menguasai ke-4 elemen & membawa 'keseimbangan' dunia