"Duit Jin Dimakan Setan"

JALAN Sukarno Hatta adalah jalan utama di Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna. Lebarnya lima meter. Di sisi kiri jalan dari arah bandar udara, rumah tinggal dan rumah toko -paling tinggi tiga lantai, berjejer diselingi kios-kios kecil, yang sebagian terbuat dari kayu. Ada bangunan dan kios yang menjorok hingga ke tepi jalan. Ada pula yang tersuruk jauh ke dalam. Tak beraturan.


Di kanan jalan, Laut China Selatan terhampar luas. Sampah berserakan di bibir pantai. Baliho besar bergambar Bupati Natuna Daeng Rusnadi membelakangi laut menghadap ke jalan, tampak pudar warnanya. Tak jauh dari pantai, di sebuah perempatan jalan, asap sisa kebakaran masih mengepul pada Sabtu (12/12) siang. ''Itu satu-satunya pasar di Ranai. Terbakar tadi malam,'' kata Nasrul, karyawan sebuah hotel di Ranai.

Perempatan dekat pasar itu, adalah satu-satunya persimpangan jalan di Ranai yang dipasangi lampu lalu lintas (traffic light). Lampu warna hijau dan merahnya tak pernah menyala. Hanya lampu kuning yang berkedip-kedip sepanjang siang dan malam. Meski begitu, warga setempat tetap menyebut traffic light itu "lampu merah". ''Lampu merah itu baru dipasang awal Desember ini,'' kata Nasrul.

Malam hari lampu penerangan jalan umum di sepanjang Sukarno Hatta tak seluruhnya menyala, akibat pemadaman bergilir dari PT PLN (Persero) Ranting Natuna. Tiap hari ada pemadaman bergilir empat sampai lima jam, sejak setahun terakhir.

Warga yang ingin mencari hiburan di malam hari, kedai kopi adalah tempatnya. Tak ada bioskop. Tak ada kafe apalagi mall. Minimarket adalah tempat belanja paling moderen. Harga makanan jauh melebihi Batam. Seporsi nasi Padang dengan segelas es teh manis di Batam seharga Rp12 ribu, di Ranai pembeli membayar rata-rata Rp20 ribu.

Wisatawan atau pendatang yang ingin keliling Ranai, harus rela mengeluarkan biaya ekstra untuk sewa mobil. Tak ada taksi dan angkutan kota. Immanuel, karyawan swasta yang tahun 2008 lalu pindah tugas dari Batam ke Ranai mengisahkan, saat pertama kali datang, ia mendarat di Bandara Ranai sekitar pukul 14.00 WIB. Sampai azan Magrib berkumandang ia masih duduk di teras ruang tunggu bandara. ''Seorang petugas menegur dan bertanya kenapa saya masih di sini. Saya bilang, menunggu angkutan umum,'' tuturnya. Si petugas tergelak terbahak-bahak. ''Sampai bulan depan pun Bapak di sini, takkan ketemu angkot. Di Ranai mana ada angkot, Pak,'' kata petugas bandara seperti ditirukan Immanuel.

''Kondisi Ranai hari ini lebih buruk daripada Manokwari 16 tahun lalu,'' kata Arief Muliawan, Kepala Kejaksaan Negeri Natuna, Rabu (16/12).

Arief adalah orang baru di Natuna. Ia dilantik sebagai Kepala Kejaksaan Natuna tanggal 7 November 2009. Lelaki berdarah Madura-Bugis ini pernah bertugas di Manokwari, Papua antara tahun 1993 sampai 1996. Pada pekan pertama tiba di Ranai, ia berkeliling melihat-lihat situasi. ''Mengenaskan,'' katanya ketika ditanya 'hasil pantauan'-nya. ''Natuna ini kaya, tapi rakyatnya miskin,'' ucapnya.

Di perut bumi Natuna tersimpan minyak dan gas (migas) yang sudah dieksploitasi. Menurut data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, kandungan minyak Natuna mencapai 14.386.470 barel. Sedangkan kandungan gas bumi 112.356.680 barel. Belum termasuk kandungan gas di Blok D-Alpha yang kini sedang diperebutkan delapan perusahaan migas raksasa dunia. Royal Dutch Shell, Total SA, Statoil SA, Beyond Petroleum, Petronas, Esso, China National Petroleum Company, dan ExxonMobil kini bersaing untuk bisa mengusai Blok D-Alpha yang disebut-sebut sebagai sumur gas terbesar di Indonesia, karena potensinya mencapai 46 triliun kaki kubik mengalahkan potensi ladang gas Tangguh, Papua yang 'hanya' 14 triliun kaki kubik.

Bahwa hingga sekarang potensi kekayaan yang sudah dieksploitasi itu belum berdampak pada kesejahteraan rakyat, itulah yang membuat orang luar yang berkunjung ke Natuna, seperti Arief Muliawan, geleng-geleng kepala. ''Rakyat Natuna seperti ayam mati di lumbung padi,'' ucap Arief, nelangsa.

Kemana APBD Mengalir?
Pemerintah Kabupaten Natuna bukannya tak kecipratan hasil eksploitasi kekayaan alam daerahnya. Tiap tahun dana bagi hasil (DBH) migas mengalir ke kas daerah. Sebagai satu-satunya daerah penghasil migas, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Natuna selalu lebih tinggi dibanding lima kabupaten dan kota lain di Provinsi Kepulauan Riau. Jika dirata-rata, dalam empat tahun terakhir, APBD Natuna tiap tahun sebesar Rp1,4 triliun.

Tapi, tak mudah bagi orang-orang di luar pemerintahan untuk tahu secara pasti kemana saja uang rakyat yang dikelola pemerintah daerah dialirkan. Berapa persen untuk pembangunan dan berapa persen untuk belanja rutin pejabat dan pegawai. Sebabnya, di Natuna, Peraturan Daerah tentang APBD yang telah disahkan lewat rapat paripurna DPRD adalah "rahasia negara".

''Kita risau kalau buku lintang (Perda APBD-red) dibuka-buka oleh wartawan dan LSM. Mereka tak punya kompetensi untuk membacanya. Mereka membuat penafsiran sesukanya. Hanya bikin resah,'' kata Fadhillah Malarangan, Kepala Dinas Kesehatan Natuna, di Kantor Bupati Natuna, Rabu (16/12).

Kerangka berpikir Fadhillah, calon wakil bupati Pangkep, Sulawesi Selatan, mewakili jalan pikiran kebanyakan birokrat dan anggota DPRD di Natuna. Saking takutnya buku itu bertebaran kemana-mana, tak satu pun anggota DPRD memegangnya. Jangankan buku APBD tahun-tahun sebelumnya, buku APBD tahun berjalan pun mereka tak punya. Para anggota Dewan memilih menghindar ketika permintaan melihat buku APBD diajukan. ''Itu rahasia negara,'' kata seorang anggota DPRD.

"Bukankah publik berhak tahu?'' tanya Batam Pos.

"Iya. Tapi di sini kita belum terbiasa itu dibuka-buka,'' katanya.

Semua keputusan pemerintah memang jadi "rahasia negara" di Natuna. Karena itu, rapat dengar pendapat (hearing) antara komisi-komisi di DPRD dengan dinas atau instansi di lingkungan pemerintah daerah, yang jadi mitra mereka, tak pernah terbuka untuk publik. Pintu ruang rapat paripurna juga selalu terkunci bagi yang bukan anggota Dewan dan pejabat pemerintah, setiap kali keputusan diambil di dalamnya. Presentasi calon investor, yang berniat membuka usaha, di hadapan DPRD dan pemerintah daerah, juga tabu untuk diliput wartawan.

Surya Makmur Nasution, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPRD Provinsi Kepri mengatakan, anggapan bahwa buku APBD sebagai "rahasia negara" adalah jalan pikiran keliru. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2009, kata dia, menegaskan pembahasan APBD harus melibatkan masyarakat. ''Itu artinya, masyarakat berhak tahu apa saja program dan berapa dana yang dianggarkan dalam APBD,'' kata mantan wartawan Kompas itu. ''APBD itu kan uang rakyat, masa rakyat tak boleh tahu?'' katanya.

Arief Muliawan menguatkan pendapat Surya Makmur. ''Setiap keputusan yang sudah disahkan melalui paripurna DPRD adalah milik publik. Buku APBD bukan rahasia negara,'' kata dosen ilmu hukum di sejumlah perguruan tinggi di Jakarta ini. ''Tapi, untuk dapat itu ya nggak perlu ngejar-ngejar kepala dinas. Carilah dengan jalan yang halus,'' katanya sembari tertawa.

Seorang anggota Dewan akhirnya bersedia mencarikan buku APBD. Tapi, dengan syarat. ''Jangan bilang-bilang dari saya. Nanti kalau ada ribut-ribut di koran saya yang diserang.'' Butuh tiga hari untuk mendapatkan buku itu.

Tahun 2007 adalah puncak tertinggi APBD Natuna. Peraturan Daerah Nomor 2 tentang APBD menyebutkan, besar APBD 2007 mencapai Rp1,9 triliun. Dana bagi hasil memberi kontribusi terbesar yaitu Rp1,039 triliun. Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya Rp38,2 juta.

Natuna berpesta. Pemerintah daerah langsung mencanangkan pembangunan sebuah masjid megah senilai Rp400 miliar. Anggaran pembangunan masjid setara dengan APBD Kota Tanjungpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, tahun 2007.

Pembangunan masjid ini merupakan bagian dari mega proyek yang diberi nama Gerbang Utara Ku, yang meliputi perumahan DPRD, rumah dinas bupati dan wakil bupati, kampus dan asrama perguruan tinggi. Total anggaran yang akan dihabiskan seluruhnya (termasuk dana pembangunan masjid) sebesar Rp781 miliar lebih. Selain dari APBD 2007, anggaran 2008 dan 2009 juga bakal tersedot, karena pendanaannya bersifat multiyears. Hingga penghujung 2009 ini, baru masjid yang selesai dibangun.

Gerbang Utara Ku merupakan Singkatan dari slogan: Gerakan Membangun untuk Sejahtera ke Anak Cucu. Kata Gerbang Utara juga merujuk pada posisi Natuna secara geografis yang merupakan wilayah paling utara Indonesia.

Peletakan batu pertama masjid dilakukan 4 Mei 2007. Bupati Natuna Daeng Rusnadi mengatakan, membangun masjid megah itu adalah impian lamanya. ''Proses pembangunan masjid ini dirancang setelah empat bulan kami menjabat sebagai Bupati,'' ungkapnya (Batam Pos, Sabtu 5 April 2009). Daeng dilantik sebagai orang nomor satu di Natuna tanggal 13 Agustus 2006.

Saat peresmian pada hari Jumat, 4 April 2009, Daeng Rusnadi mengatakan, ''Masjid ini akan menjadi maskot kebanggaan masyarakat Natuna.''

Warga Ranai menyebut Masjid Gerbang Utara Ku sebagai Masjid Agung Natuna. Arsitektur kubahnya mirip Taj Mahal di India. Inilah masjid terbesar dan termegah di Kepulauan Riau. Beberapa warga berpendapat, kemegahan Masjid Agung Natuna mengalahkan Masjid Kubah Emas di Depok, Jawa Barat. Satu baris shaf bisa memuat 180 jamaah. ''Ribuan jamaah bisa tertampung di masjid ini,'' kata Hussaini, Kepala Bagian Umum Pemkab Natuna.

Kecuali di hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, jamaah yang salat di Masjid Agung tak sebanyak yang dibayangkan. ''Kalau hari biasa satu shaf pun kadang tak penuh,'' kata Noviandri, pelajar SMP yang tengah mengaji usai salat Magrib di masjid itu, Sabtu (12/12). ''Setahu saya, kalau salat Jumat paling banyak hanya terisi tiga shaf saja,'' kata Abdul Rasyid, pegawai Kantor Samsat Natuna menambahkan.

Di belakang kompleks masjid, terhampar perkampungan penduduk dengan rumah-rumah kayu dan semi permanen, berdampingan dengan perumahan pegawai Pemda. Sebuah masjid juga berdiri di sana. Rumah Tuhan bernama Al Muhajirin itu sudah ada jauh sebelum Masjid Agung Natuna dibangun. ''Warga Puak (nama perkampungan di belakang Masjid Agung) salatnya di sana saja. Jarang yang ke sini,'' kata Noviandri.

Begitu pula dengan warga Batu Kapal, perkampungan penduduk yang berjarak 300 meter ke arah kiri jalan masuk kompleks Masjid Agung. Mereka lebih memilih menunaikan salat di Masjid Ath-Thariq yang dibangun warga secara swadaya sepuluh tahun lalu.

Mubazir. Itulah yang dirasakan oleh sejumlah warga bila mengingat besarnya uang yang dihabiskan untuk membangun Masjid Agung. ''Dimana-mana di Natuna ini sudah banyak masjid dan musala. Malah anak-anak banyak yang belum sekolah,'' kata Saufie (46), warga Desa Air Raya, Kecamatan Bunguran Timur. Dua dari tiga anaknya putus sekolah. Usianya 14 dan 11 tahun. Mereka kini membantu Saufie jadi pemecah batu.

Anggaran pembangunan langsung gedung sekolah yang diusulkan Dinas Pendidikan Natuna tahun 2007 memang kalah jauh dibanding dana untuk Masjid Agung. Pembangunan gedung sekolah hanya Rp31 miliar (Rp2,2 miliar untuk gedung sekolah pendidikan usia dini, Rp22,4 miliar untuk gedung sekolah dasar, dan Rp6,3 miliar untuk gedung pendidikan tinggi). Padahal, berdasarkan data pemerintah dalam buku Natuna dalam Angka, dari 91,263 penduduk Natuna, jumlah warga yang tidak tamat sekolah dasar mencapai 9.854 orang dan yang tidak pernah sekolah sebanyak 2.221 orang.

Wakil Bupati Natuna Raja Amirullah, yang ditemui di ruang kerjanya, Senin (14/12), menolak jika dikatakan penggunaan anggaran banyak yang tidak tepat sasaran. ''Untuk mengatakan seperti itu, indikatornya harus jelas. Tidak bisa sembarangan memberi penilaian,'' katanya. ''Pemerintah membangun berdasarkan usulan dari bawah dan perencanaan yang mengacu pada kebutuhan masyarakat ke depan,'' ujar Amirullah.

Pada tahun 2007 itu, Pemerintah Kabupaten Natuna mengalokasikan dana bantuan sosial sebesar Rp69 miliar. Empat kali lipat di atas alokasi pinjaman dana bergulir untuk koperasi dan usaha kecil menengah (UKM), yang hanya Rp15 miliar.

Pos anggaran bantuan sosial inilah yang diduga selama ini dibagi-bagikan Bupati Daeng Rusnadi kepada warga yang setiap hari mendatangi kantornya. Hari-hari Daeng sebagai Bupati lebih banyak dihabiskan menerima kunjungan masyarakat. Ratusan tamu dari berbagai kalangan, mulai masyarakat biasa, LSM, OKP, wartawan hingga pejabat dan muspida antre di depan pintu masuk ruang kerja Bupati.

Seperti di tempat praktik dokter, setiap orang yang ingin menghadap wajib mengisi nomor urut di buku tamu yang dikawal anggota Satpol PP. Mereka dipanggil sesuai nomor urut. Kepala dinas yang ingin melaporkan tugas-tugas pemerintahan juga harus mengisi nomor urut, antre bersama warga. ''Saya pernah ingin ketemu, berkoordinasi soal keamanan jelang Lebaran, tapi harus antre menunggu warga yang ingin silaturahmi. Saya tinggalkan, saya pulang ke kantor,'' tutur seorang perwira di Polres Natuna.

Beragam alasan diutarakan masyarakat meminta bantuan langsung Bupati Daeng. Dari kebutuhan rumah tangga, keluarga sakit, kemalangan, hingga pesta perkawinan. Jenis keperluan menentukan besarnya sumbangan. "Saya pernah mengeluh anak sakit. Setelah antre dua jam, Pak Bupati kasih Rp1 juta,'' kata Ali Usman, warga Ranai.

Di kursi kekuasaannya Daeng Rusnadi seperti lampu dirubungi laron. ''Kalau bertemu dan salaman sama dia, insya Allah ada duitnya,'' ujar Abu Bakar, nelayan Sungai Ulu. Abu Bakar menuturkan, ketika mengendarai sepeda motor, ia pernah berpapasan dengan Daeng yang melaju dengan mobil dinasnya tak jauh dari Kantor Bupati di Bukit Arai. Daeng melambaikan tangan meminta Abu Bakar berhenti. ''Dia cuma tanya kabar, terus kasih duit Rp200 ribu. Kebetulan di situ ada dua anggota polisi, mereka juga dapat duit. Setelah itu Pak Daeng langsung pergi,'' katanya. Tapi, Abu Bakar mengaku tak pernah ikut antre bantuan di kantor Daeng. ''Saya malu untuk minta-minta begitu,'' ucapnya.

Sikap Daeng yang mirip Sinterklas makin memicu antusiasme warga untuk selalu bertemu dia. Bukan hanya warga Natuna, warga Batam dan Tanjungpinang pun sering terlihat di tengah antrean. Saking banyaknya orang yang ingin bersilaturahmi, lobi lantai dasar hingga lantai dua Kantor Bupati tak berbeda dengan loket pembayaran rekening PLN pada tanggal muda.

Ada istilah yang berkembang di masyarakat Natuna, jika pergi melaut semalam suntuk atau bertani seharian, paling-paling hanya dapat uang sekitar Rp50 ribu sampai Rp100 ribu saja. ''Bandingkan jika antre di Kantor Bupati yang paling lama cuma tiga jam, kite bisa bawa pulang duit paling sikit Rp200 ribu,'' kata Ali Usman.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko mengatakan, dalam beberapa kasus yang diteliti ICW, pemberian dana bantuan sosial kepada masyarakat kecil hanya kamuflase belaka. Kenyataannya dana lebih banyak dialirkan kepada organisasi dan kelompok-kelompok pendukung kepala daerah saat pilkada. ''Karena dana bansos ini yang paling mudah diberikan. Tidak perlu tender, tanda buktinya cuma kuitansi. Karena itu, pos dana bansos sering dibengkakkan dalam APBD,'' kata Danang kepada Batam Pos, Sabtu (26/12).

Dari dokumen audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas penggunaan APBD 2007 yang diperoleh Batam Pos, diketahui dana bantuan sosial juga mengalir ke sejumlah organisasi kepemudaan. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Natuna memperoleh dana sebesar Rp2,4 miliar, yang dicairkan dalam enam tahap. Dari enam kali pencairan itu, hanya satu proposal KNPI yang bersifat kegiatan, yaitu penyelenggaraan pawai ta'aruf. Sisanya adalah untuk biaya operasional dan bantuan keuangan organisasi. Dalam laporan itu juga disebutkan, tahun sebelumnya, KNPI Natuna telah mendapat bantuan sebesar Rp1,2 miliar dari pos anggaran yang sama.

Ketua KNPI Natuna Harmidi yang ditemui di rumahnya, di Jalan Sukarno Hatta, Ranai, Minggu (27/12), enggan berkomentar soal dana bantuan tersebut. ''Itu tanggung jawab pengurus periode sebelumnya. Saya baru dilantik Januari 2009,'' katanya.

''Apakah tidak ada laporan kegiatan dari pengurus sebelumnya?''

''Tanya sama yang lama saja,'' ujarnya.

Wan Indra Gunawan, Ketua KNPI Natuna sebelum Harmidi, yang dihubungi hingga Minggu (27/12) malam, tidak bisa dikonfirmasi.

Di hadapan Wakil Bupati Raja Amirullah, Sekretaris Daerah Ilyas Sabli dan sejumlah kepala dinas, dalam acara sosialisasi antikorupsi, Kepala Kejaksaan Natuna Arief Muliawan mengingatkan, pemberian dana bantuan sosial di Natuna sudah melampaui batas. ''Ini sudah tak mendidik lagi. Kebiasaan itu membuat masyarakat jadi malas,'' katanya. Seharusnya, kata dia, yang diperbesar adalah bantuan modal bagi nelayan dan usaha kecil, agar mereka mandiri dan tak jadi peminta-minta. ''Masyarakat harus dikasih pancing, biar dia usaha sendiri. Jangan dikasih ikan terus,'' katanya memberi analogi. Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah mangut-mangut.

Menurut Arief, pemberian bantuan terus menerus kepada warga membuat pejabat terperangkap dalam korupsi. ''Kalau pos dana bantuan sosial sudah habis, sementara warga terus berdatangan, otomatis pos anggaran lain yang diubah peruntukannya. Tak mungkin sumbangan itu diambilkan dari duit pribadi si pejabat. Memangnya gaji mereka berapa,'' kata Arief. Dalam Perda APBD Natuna tahun 2007, anggaran belanja bupati dan wakil bupati ditetapkan sebesar Rp464 juta.

Mengubah peruntukan pos anggaran, Arief menegaskan, adalah tindakan korupsi. ''Akibatnya duit jin dimakan setan. Uang hasil korupsi pejabat digunakan untuk foya-foya oleh sebagian rakyat, tapi rakyat tak tahu itu sumbernya darimana,'' katanya.

Dalam catatan ICW, selain dana bantuan sosial, pos anggaran dalam APBD yang rawan praktik korupsi adalah, pos bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum. Pembangunan proyek infrastruktur dan pengadaan barang dan jasa pada tiga dinas basah ini, menurut Danang Widoyoko, harus diawasi ketat. ''Kongkalingkong antara pejabat pimpinan proyek dengan pengusaha sering terjadi,'' katanya.

Caranya, mereka mengatur persyaratan tender untuk memenangkan pengusaha yang punya kedekatan dengan pejabat. Spesifikasi proyek sudah disepakati jauh sebelum tender dilakukan. ''Sebelum tender dibuka pengusaha sudah tahu dapat keuntungan berapa,'' kata Danang. ''Makanya pemenang tender sudah berani kasih amplop untuk pejabat sebelum proyek dimulai,'' ujarnya.

Pelaksanaan proyek beraroma hangky pangky terendus pada pengadaan alat laboratorium bahasa untuk sembilan SMP dan empat SMA oleh Dinas Pendidikan Natuna tahun 2007. Proyek ini ditengarai merugikan keuangan daerah sebesar Rp628 juta. Ini terjadi karena selisih harga antara alat laboratorium SMP dan SMA sangat tinggi. Padahal, jenis dan merek alat yang diadakan untuk kedua level pendidikan tersebut sama persis. Tahun pengadaannya pun sama, yaitu tahun 2007.

Misalnya, master console untuk guru merek Dr Wicom untuk SMP harga per unitnya Rp150 juta, sedangkan untuk SMA harganya Rp123.300.000. Video distributor untuk SMP harga per unitnya Rp15 juta, untuk SMA harganya Rp11.900.000. Televisi Toshiba Bomba 29 inchi untuk SMP harganya Rp6 juta, untuk lab SMA harganya Rp4.875.000. Dari sebelas jenis alat perlengkapan laboratorium yang diadakan, menurut BPK, terdapat perbedaan harga sebesar Rp69.795.000 untuk satu SMP. Dikalikan sembilan SMP total selisihnya sebesar RpRp628.155.000.

Hamdi, Kepala Dinas Pendidikan (saat itu), mengakui pengadaan alat laboratorium bahasa SMP dan SMA mempunyai spesifikasi yang sama. Jenis dan bentuk alatnya juga sama. Jika terdapat perbedaan harga, kata dia, dikarenakan penawaran oleh masing-masing perusahaan berbeda. ''Dengan demikian bukan merugikan keuangan daerah,'' kata Hamdi menyanggah.

Tapi, BPK menilai Dinas Pendidikan telah melanggar pasal 5 huruf f Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Barang dan Jasa, yang berbunyi ''Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa, dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika, di antaranya menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara''. Karena itu, BPK memerintahkan Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Pendidikan mempertanggungjawabkan kerugian daerah sebesar Rp628.155.000 dan menyetorkannya ke kas daerah.

Kegiatan Pelatihan Guru Bidang Studi Ujian Nasional SMP dan SMA juga berbau korupsi. Anggaran untuk kegiatan itu sebesar Rp112.800.000. Dalam laporan pertanggungjawabannya, Panitia Kegiatan menyebutkan, pelatihan dilakukan lima hari di Hotel Mariana, Ranai. Semua akomodasi dan transportasi peserta ditanggung panitia. Tak lupa panitia menyertakan kuitansi tanda terima yang sudah ditandatangi peserta.

Kenyataannya kegiatan hanya berlangsung tiga hari, dan tanda tangan pada kuitansi bukanlah tanda tangan asli peserta melainkan hasil manipulasi panitia. Ini diketahui setelah auditor BPK melakukan pengecekan ulang kepada para peserta pelatihan, saat melakukan audit tahun 2008. Besar biaya transportasi dan akomodasi yang diterima peserta lebih kecil dibanding angka yang tertera pada kuitansi yang dibuat panitia.

Panitia beralasan ada kesalahan dalam penganggaran, sehingga biaya instruktur dan biaya akomodasi peserta tidak termasuk dalam anggaran kegiatan. Tapi, ''Pemeriksaan lebih lanjut atas laporan realisasi fisik dan keuangan, diketahui hanya biaya instruktur yang tidak dianggarkan,'' tulis BPK dalam laporan audit tersebut. Akibat manipulasi ini, menurut BPK, keuangan daerah dirugikan paling sedikit Rp66.075.000.

Seorang bendahara di Dinas Pendidikan berinisial Abd juga pernah kedapatan mentransfer dana milik Dinas di Bank Riau ke rekening pribadinya sebesar Rp2,2 miliar, pada Desember 2007.

Wakil Bupati Raja Amirullah mengakui banyaknya temuan penyimpangan anggaran oleh anak buahnya saat BPK melakukan audit. Tapi, kata dia, ''Tidak semua hasil audit BPK itu benar. Dan masih bisa disanggah.'' Yang jelas, ia menambahkan, dari sisi program tidak ada yang salah dari pemerintah daerah. ''Tapi, kalau dalam pelaksanaannya ada penyimpangan, itu urusan lain,'' ucapnya.

Arief Muliawan mengungkapkan, Kejaksaan Natuna sejak November 2009 telah menyelidiki sejumlah kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Natuna, termasuk kasus korupsi tahun anggaran sebelum-sebelumnya. ''Januari tahun depan (2010) akan ada beberapa pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka,'' katanya.

Menurut dia, korupsi di Natuna sudah masuk kategori akut dan masif. ''Jika saya sikat semua, bisa-bisa pemerintah daerah tak punya kepala dinas lagi. Natuna bisa chaos,'' ucapnya. Karena itu, kata dia, penanganan kasus dugaan korupsi dilakukan berdasarkan skala prioritas. ''Penanganan korupsi memang tebang pilih. Dipilih mana yang besar-besar, itulah yang ditebang,'' kata Arief.

Sebenarnya, kata Arief, ia bisa saja menangkapi semua pejabat yang terindikasi korupsi di Natuna, lalu pulang ke Kejaksaan Agung dengan bangga. ''Saya ditugaskan di sini cuma empat bulan, diperintah khusus untuk membenahi Natuna. Kalau saya penjarakan semua, setelah itu balik ke Jakarta, orang-orang akan menilai saya hebat. Tapi, menurut saya, itu justru kegagalan. Saya akan berhasil kalau korupsi tidak ada lagi di Natuna,'' paparnya.

Hasil Korupsi Disimpan di Jakarta
''Assalamualaikum. Di hari yang berbahagia ini, saya mengucapkan selamat Idul Adha. Saya sekarang sedang disidang di Pengadilan Tipikor dan dititipkan di Polda Metro Jaya. Selanjutnya apakah saya akan ditahan atau mungkin mati.'' Kalimat itu diucapkan Bupati Natuna Daeng Rusnadi kepada jamaah salat Idul Adha di Masjid Agung Natuna, Jumat (27/11).

Di hari besar itu, Daeng tak bisa hadir di masjid impian dan kebanggaannya untuk bersilaturahmi secara langsung dengan masyarakat, seperti kebiasaannya selama ini. Salam dan pesan kepada jamaah disampaikan Daeng melalui sambungan telepon yang didekatkan ke pengeras suara Masjid Agung. Sejak Rabu (4/10), Daeng ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan korupsi dana bagi hasil migas tahun 2004 sebesar Rp72,25 miliar. Ketika itu, Daeng masih menjabat sebagai Ketua DPRD Natuna.

Terungkapnya kasus ini menunjukkan kekacauan pengelolaan keuangan di Pemerintah Kabupaten Natuna sesungguhnya memiliki jejak yang panjang, jauh sebelum tahun 2007. Sejumlah warga Ranai yang ditemui Batam Pos tampak hati-hati membicarakan soal penahanan Daeng ini. ''Kita tak ngerti, Pak. Takut salah kata,'' kata Nursiah, warga Kelurahan Bandarsyah.

Penahanan Daeng, membuat suasana di Kantor Bupati berbeda. Tidak ada lagi antrean panjang warga, LSM, dan OKP yang ingin berjabat tangan dengannya. Ruang kerja Daeng tampak terkunci, Senin (14/12). Sebuah meja dengan dua buku tamu masih berada di depan pintu yang tertutup rapat. Tiga petugas Satpol PP melingkar di meja itu. Tugas polisi pemerintah daerah itu, kini melayani tamu-tamu yang ingin bertemu Sekretaris Daerah Ilyas Sabli, yang ruang kerjanya berhadap-hadapan dengan kantor Daeng.

Daeng dan Bupati (saat itu) Hamid Rizal diduga menggunakan uang dari kas daerah untuk kepentingan pribadi. Kisah bermula pada Mei 2003, ketika keduanya sepakat membentuk tim untuk meningkatkan pendapatan daerah dari sektor minyak dan gas (migas). Atas dasar kesepakatan tersebut, dibuatlah pos anggaran subsidi kepada PNS dan instansi vertikal lainnya dengan dana Rp42,2 miliar di APBD Natuna tahun 2004. Pada Juni 2004, DPRD dan Pemkab Natuna membengkakkan alokasi dana untuk pos subsidi kepada PNS dan instansi vertikal lainnya jadi Rp74,678 miliar, melalui mekanisme revisi APBD.

Selama bulan Januari 2004, Daeng selaku ketua DPRD berkali-kali meminta uang dari kas daerah melalui Muhammad Subandi, Kepala Bagian Keuangan Kabupaten Natuna. Alasan Daeng, untuk memperjuangkan peningkatan pendapatan daerah dari sektor migas.

Padahal, ketika itu, APBD belum disahkan. Rapat paripurna pengesahan APBD baru digelar 18 Februari 2004. Nyatanya, APBD sudah bocor duluan. Sebelum 18 Februari itu, Daeng menarik duit dari kas daerah sebesar Rp39 miliar dalam empat tahap. Uang tersebut mengalir ke sejumlah nama, di antaranya Subandi yang mendapat Rp2,7 miliar, almarhum Suwito selaku ketua Tim Migas (Rp10 miliar), dan Suparni, staf di Bagian Keuangan Pemkab Natuna.

Suparni yang bertugas mencatat pembukuan bercerita, ia pernah dimintai nomor rekening bank oleh Suryanto, dari Bagian Keuangan Pemkab Natuna. Rekening itu akan digunakan untuk pengiriman uang, yang selanjutnya akan diserahkan kepada Daeng Rusnadi. "Suryanto telepon saya, Pak Daeng minta nomor rekening. Suryanto mau kirim uang Rp2 miliar untuk Pak Daeng," tutur Suparni.

Setelah uang masuk, lanjut Suparni, ia segera mencairkan dan menyerahkannya kepada Daeng. "Kedermawanan" Daeng sudah terlihat sejak di sini. Menurut pengakuan Suparni, ia diberi Rp320 juta oleh Daeng setelah mengantar uang kiriman dari Suryanto itu. "Saya dikasih Rp320 juta untuk dibagi-bagi. Ada 32 pegawai di Bagian Keuangan, jadi masing-masing Rp10 juta," ujar Suparni. ''Tapi, duit itu sudah saya kembalikan ke KPK,'' katanya.

Selain kebiasaannya yang suka bagi-bagi uang, di Natuna, Daeng juga dikenal sebagai pemilik empat unit villa yang tersebar di Gunung Sebayar dekat Bukit Arai, Bukit Senumbing, Pulau Kambing, dan Gunung Air. Lokasi masing-masing villa berada di empat titik mata angin (barat, timur, utara, selatan) yang mengitari Natuna. Warga yang melintasi jalan di depan Kantor Bupati Natuna, bisa memandang dengan jelas salah satu villa milik Daeng yang berada di ketinggian itu.

Setelah APBD disahkan, 18 Februari 2004, penarikan dana dari kas daerah dengan alasan memperjuangkan peningkatan pendapatan daerah dari sektor migas masih berlanjut. Ironisnya, duit tidak hanya diambil dari pos subsidi kepada PNS dan instansi vertikal lainnya, duit yang ada di pos operasional Kantor DPRD Natuna pun ikut ditarik Daeng sebesar Rp10,94 miliar.

Hamid Rizal yang waktu itu menjabat Bupati Natuna, mendapat Rp1,5 miliar. Hamid meminta agar uang itu digunakan untuk membeli dua unit mobil, masing-masing Mitsubishi Subaru Impressa tahun 2004 seharga Rp630 juta dan Mercedes Benz E 240 automatic tahun 2004 seharga Rp849,3 juta.

Hamid mengakui pembelian mobil itu. ''Untuk keperluan jika saya ada kunjungan kerja di Jakarta. Jadi bukan untuk kepentingan pribadi,” kilahnya. Kedua mobil itu disimpan di Jakarta!

Jaksa KPK mengungkapkan, sekitar Maret 2008, untuk kepentingan melengkapi administrasi pertanggungjawaban pengeluaran dan penggunaan uang kas daerah, Daeng yang sudah menjadi Bupati Natuna dan Hamid yang sudah menjadi Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kepri, membuat pertanggungjawaban yang dibebankan pada APBD tahun 2004. ''Pertanggungjawaban tersebut dibuat seolah-olah untuk kegiatan Tim Intensifikasi dan Ekstensifikasi Dana Bagi Hasil Migas. Padahal itu tidak sesuai kenyataan dan dibuat hanya untuk memenuhi formalitas. Seolah-olah penggunaan uang sudah sesuai peruntukannya,” ujar anggota JPU KPK Edy Hartoyo.

Dinasti Politik Daeng
Natuna satu dekade terakhir tak bisa dipisahkan dari sepak terjang Daeng Rusnadi. Nama pria kelahiran Ranai 23 Maret 1960 ini mulai dikenal publik Natuna ketika terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Riau periode 1992-1997 mewakili daerah pemilihan Natuna. Ketika itu, Natuna masih jadi bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau, dan berinduk ke Provinsi Riau.

Sebelum jadi anggota DPRD, Daeng adalah seorang guru. Ia mengajar di SDN 003 Tanjung, Kecamatan Bunguran Timur. Ia hanya guru biasa, bukan kepala sekolah. Boleh dibilang, saat terpilih pertama kali sebagai anggota DPRD, Daeng dipayungi keberuntungan. Sebab, kata Ali Yanto (48), teman sekolah Daeng semasa SD dan PGA, Daeng belum banyak dikenal.

Karena Kantor DPRD Kabupaten Kepulauan Riau berada di Tanjungpinang, Daeng pun hijrah ke Bumi Segantang Lada. ''Kalau ada warga Ranai yang pergi ke Pinang dan tak ada tempat menginap, mereka akan ditampung di rumah Daeng,'' tutur Ali Yanto. ''Tapi, yang saya tahu dia tak pernah kasih duit, cuma sediakan tempat tinggal dan makan saja,'' katanya.

Ali Yanto mengisahkan, saat sama-sama menuntut ilmu di SDN 1 Ranai dan PGA Negeri Ranai, Daeng adalah anak yang biasa-biasa saja. Ia bukan tipikal murid yang suka mentraktir teman-teman sekolahnya. ''Tidak ada. Normal-normal saja,'' ujarnya. Daeng juga tidak pernah terpilih sebagai ketua kelas dan ketua organisasi di sekolah. ''Tak ada prestasi yang menonjol,'' kata Ali Yanto.

Putra pegawai sipil AURI dan pemilik kebun cengkeh itu, pun tidak pernah terlibat percekcokan dengan kawan sepermainan. ''Bubar sekolah, biasanya dia langsung pulang. Kami jalan kaki sama-sama. Kebetulan rumah kami satu arah,'' kata Ali Yanto. Selama di SD, kata Ali Yanto, Daeng selalu satu kelas dengan abangnya Daeng Rumedi. Tamat PGA, Daeng meneruskan sekolah ke IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. ''Keluarganya semua kuliah di Yogya,'' ujar Ali Yanto.

Reformasi dan gelora otonomi daerah di penghujung 1990-an membawa berkah tersendiri bagi Natuna dan Daeng Rusnadi. Pusat menetapkan Natuna sebagai daerah otonom melalui Undang-Unang Nomor 53 Tahun 1999, dan berhak memiliki pemerintah daerah dan DPRD sendiri. Daeng terpilih sebagai ketua DPRD pertama Natuna periode 2000-2004. Sejak itulah, kiprah politik Daeng kian berkibar di Natuna dan Kepulauan Riau.

Saat mencalonkan diri kembali sebagai anggota DPRD pada Pemilu 2004, nama Daeng sudah tersohor di seantero Natuna. ''Tak ada yang tak kenal Pak Daeng,'' kata Saufie, warga Desa Air Raya, Kecamatan Bunguran Timur. Saufie adalah anggota tim sukses Daeng ketika Daeng maju sebagai calon anggota DPRD Natuna pada Pemilu 2004 dan saat Daeng mencalonkan diri sebagai bupati dalam Pilkada 2005.

Di rumah panggung tanpa kamar milik Saufie, jam dinding berlogo Partai Golkar dengan foto Daeng Rusnadi masih terpajang, jarumnya pun masih bergerak. ''Itu hadiah waktu dia jadi caleg tahun 2004,'' katanya. ''Dia bilang, kalau ada apa-apa datang saja ke DPRD,'' ujar Saufie.

Setelah Daeng terpilih kedua kalinya sebagai ketua DPRD lewat Pemilu 2004, warga mulai ramai bersilaturahmi ke kantornya. Cerita dari mulut ke mulut tentang kedermawanan Daeng terus menyebar di kalangan warga Natuna. ''Saya pernah sekali ke sana. Mak, ramainya,'' kata Saufie. Menjelang petang, amplop putih bertebaran di halaman Kantor DPRD, nyaris setiap hari.

Investasi politik Daeng tak sia-sia. Saat bertarung dalam pemilihan bupati Natuna tahun 2005, Daeng yang berpasangan dengan Raja Amirullah mematahkan impian Hamid Rizal, incumbent yang ingin meneruskan kekuasaannya, dan tiga pasang calon bupati lainnya. Meski Daeng sempat terserang stroke menjelang pilkada, hasrat warga tak surut untuk memilih pasangan Daeng-Amirullah. Pasangan yang didukung Partai Golkar ini meraup 17.663 suara pemilih (34,74 persen).

Sedangkan Hamid Rizal-Soetomo yang diusung lima partai politik (PPP, PPDK, Pelopor, PKB, dan PKB) kalah tipis dengan perolehan suara 16.331 (31.44 persen). Usai pemilihan, Hamid-Soetomo sempat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Riau. Satu dari lima poin gugatannya adalah Daeng pernah terserang stroke sehingga dinilai tidak memenuhi syarat sebagai bupati. Tapi, gugatan Hamid dimentahkan pengadilan.

Saufie menuturkan, saat kampanye pemilihan bupati, Daeng datang ke Desa Air Raya sebanyak dua kali. Dialog pertama dengan warga berlangsung di lapangan voli desa. Pertemuan kedua digelar di Masjid Abdi Nur Irsyad, tak jauh dari lapangan voli. ''Dia cuma kasih sarung. Tak pernah kasih duit,'' ujarnya. Tapi, dalam dua pertemuan itu, Daeng berjanji akan memberikan bantuan Rp1 juta tiap bulan kepada warga. ''Dia juga bilang mau beli tanah warga,'' kata istri Saufie menyahut dari dapur.

Raja Amirullah, pasangan Daeng dalam pilkada 2005 membantah informasi itu. ''Nggak ada itu janji-janji seperti itu. Janji kita ya yang ada dalam visi dan misi,'' kata Amirullah, alumnus Universitas Padjajaran.

Tapak kekuasaan Daeng Rusnadi kian kokoh di Natuna, setelah sejumlah kerabat dekatnya menyusul kiprahnya di bidang politik. Adik kandungnya Daeng Amhar, kini duduk sebagai wakil ketua DPRD Natuna. Daeng Amhar juga menjabat ketua DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Natuna.

Sepupu Daeng, Hadi Candra adalah ketua DPRD Natuna periode 2009-2014. Ia duduk di kursi yang dulu pernah dikuasai Daeng. Pekan ketiga Desember 2009, Hadi punya jabatan tambahan, ia terpilih sebagai ketua DPD Golkar Natuna. Hadi dikabarkan bakal maju sebagai calon wakil Bupati Natuna pada pilkada 2011, berpasangan dengan Raja Amirullah.

Ngesti Yuni Suprapti, istri Daeng Rusnadi sejak September lalu juga menyandang status sebagai anggota DPRD Natuna dari Partai Golkar. Sebelumnya, perempuan kelahiran Cilacap, Jawa Tengah ini hanya mendampingi Daeng menjalankan tugas sebagai bupati.

Menurut Daeng Amhar, banyaknya anggota keluarga besar Daeng Rusnadi yang masuk ke DPRD atau yang menduduki sejumlah jabatan di Pemerintah Kabupaten Natuna, tidak didasari unsur nepotisme. ''Tidak ada KKN. Semua sesuai mekanisme saja,'' kata Daeng Amhar di kantornya, Rabu (16/12). ''Kita yang di DPRD ini yang milih kan rakyat. Kalau ada (keluarga) yang diangkat sebagai pejabat di Kantor Bupati, itu karena dia dianggap mampu,'' kata lelaki berkaca mata dan berkulit bersih ini. ''Lagipula, di partai politik kan banyak orang di situ, nggak semuanya bisa kita kendalikan,'' katanya.

Daeng Amhar mengatakan, keluarga besarnya menyerahkan nasib Daeng Rusnadi sepenuhnya pada proses hukum. ''Keluarga menghargai semua proses hukum yang berjalan. Kita tunggu sajalah,'' ujarnya.

Tak hanya keluarga, seluruh masyarakat Natuna menunggu kisah Daeng selanjutnya, dan tak tahu dimana akan berujung, seperti yang dikatakan sendiri oleh Daeng kepada jamaah Idul Adha di masjid kebanggaannya, Jumat (27/11), ''Saya sekarang sedang disidang di Pengadilan Tipikor dan dititipkan di Polda Metro Jaya. Selanjutnya apakah saya akan ditahan atau mungkin mati.'' ***
Posted by (Muhammad Iqbal)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cikunggunya menyerang warga natuna

Turis Kunjungi Sejumlah Wisata Anambas

Avatar yg dapat menguasai ke-4 elemen & membawa 'keseimbangan' dunia